SITTI

Sabtu, 26 Februari 2011

Pasar Uang dan Forex (Foreign Exchange)



 


I.         Asset–Liability Management
  1.       Pendahuluan
Bank pada hakikatnya adalah lembaga intermediasi antara para penabung dan investor. Tabungan hanya akan berguna apabila diinvestasikan, sementara para penabung tidak dapat diharapkan untuk sanggup melakukannya sendiri dengan terampil dan sukses. Nasabah mau menyimpan dananya di bank karena ia percaya bahwa bank dapat memilih alternatif investasi yang menarik.
Proses pemilihan investasi itu harus dilakukan dengan sek-sama, karena kesalahan dalam pemilihan bentuk investasi akan membawa akibat bank tidak bisa memenuhi kewajibannya kepada para nasabahnya. Pada umumnya bank mengkoordinasi-kan fungsi tersebut melalui apa yang disebut assets/liabilities management committee atau disingkat ALCO.
Tugas utama manajemen aset/liabilitas adalah memaksi-malkan laba, meminimalkan risiko, dan menjamin tersedianya likuiditas yang cukup. Potensi risiko yang dihadapi oleh bank konvensional juga dihadapi oleh bank syariah, kecuali risiko tingkat bunga, karena prinsip profit and loss sharing yang menjadi landasan sistem operasionalnya.
  2.       Fungsi Manajemen Aset & Liabilitas
Fokus manajemen aset & liabilitas adalah mengkoordinasi-kan portofolio aset/liabilitas bank dalam rangka memaksimalkan profit bagi bank dan hasil yang dibagikan kepada para pemegang saham dalam jangka panjang dengan memperhatikan kebutuhan likuiditas dan kehati-hatian.[1]
Secara umum, tanggung jawab ALCO adalah mengelola posisi dan alokasi dana-dana bank agar tersedia likuiditas yang cukup, memaksimalkan profitabilitas, dan meminimal-kan risiko.
Sebagaimana diketahui, manajemen tidak bisa semaunya menarik nasabah untuk menyimpan uangnya di bank, tanpa adanya keyakinan bahwa dana itu dapat diinvestasikan secara menguntungkan dan dapat dikembalikan ketika dana itu sewaktu-waktu ditarik oleh nasabah atau dana tersebut telah jatuh tempo. Oleh karena itu, manajemen juga harus secara simultan mempertimbangkan berbagai risiko yang akan ber-pengaruh pada perubahan tingkat laba yang diperoleh. Hal ini juga meliputi penilaian terhadap budget dan rencana pendapatan, penilaian kinerja investasi perusahaan masa lalu, memantau dis-tribusi aset/liabilitas bank, dan menerapkan strategi manajemen aset/liabilitas. Ruang lingkup dan teknik manajemen aset/liabi-litas bergantung pada sifat dari sumber-sumber dana dan sifat investasi atas dana-dana tersebut.
  3.       Jenis-jenis Risiko
i.      Risiko likuiditas.
Pemicu utama kebangkrutan yang dialami oleh bank, besar atau kecil, bukanlah karena kerugian yang dideritanya, melain-kan lebih kepada ketidak-mampuan bank memenuhi kebutuhan likuiditasnya.
Likuiditas secara luas dapat didefinisikan sebagai kemam-puan untuk memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai. Likuiditas penting bagi bank untuk menjalankan transaksi bisnis sehari-hari, mengatasi ke-butuhan dana yang mendesak, memuaskan permintaan nasabah terhadap pinjaman, dan memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi yang menarik dan menguntungkan.[2]
Likuiditas yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil sehingga mengganggu kebutuhan operasional sehari-hari, tetapi juga tidak boleh terlalu besar karena akan menurunkan efisiensi dan berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas.
ii.    Risiko kredit.
Risiko kredit muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan/atau bunga dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya.[3]
Penyebab utama terjadinya risiko kredit adalah terlalu mu-dahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas. Akibatnya, penilaian kredit kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayainya.
Risiko ini akan semakin tampak ketika perekonomian dilanda krisis atau resesi. Turunnya penjualan mengurangi penghasilan perusahaan, sehingga perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar hutang-hutangnya. Hal ini semakin diperberat dengan meningkatnya tingkat bunga. Ketika bank akan mengeksekusi kredit ma-cetnya, bank tidak akan memperoleh hasil yang memadai, karena jaminan yang ada tidak sebanding dengan besarnya kredit yang diberikan. Tentu saja bank akan mengalami kesu-litan likuiditas yang berat jika ia mempunyai kredit macet yang cukup besar.
iii.  Risiko fluktuasi tingkat bunga.
Pada pasar keuangan konvensional, harga dari uang dinya-takan dalam bentuk bunga, dan harga tersebut dapat berfluktuasi setiap saat. Profitabilitas atau return on networth (RONW) dari perbankan konvensional sangat ditentukan oleh net interest margin (NIM) dan hal itu akan sangat bergantung pada pemi-lihan komposisi aset/liabilitasnya, karena faktor kepekaannya terhadap tingkat bunga (interest rate sensitivity).
Potensi risiko fluktuasi tingkat bunga itu dapat timbul mana-kala terjadi gap antara aset dan liabilitas, di mana komposisi aset, baik berdasarkan tingkat kepekaannya terhadap tingkat bunga (interest rate sensitivity) maupun berdasarkan jangka waktunya (maturity profile) tidak sesuai (mismatch) dengan komposisi liabilitasnya. Untuk meminimalkan risiko tersebut lalu diguna-kan alat yang disebut fund gap management untuk yang disebut pertama dan duration gap management untuk yang disebut terakhir.
Secara umum, aset/liabilitas dikatakan sensitif (rate sensitive assets/liabilities) bila memiliki sebagian atau seluruh dari tiga karakteristik sebagai berikut:
1)        Pertama, jika pendapatan atau biaya bunga dari komponen-komponen aset/liabilitas mudah berubah-ubah mengikuti perubahan tingkat bunga pada suatu periode (time horizon) tertentu.
2)        Kedua, cash flow dari komponen-komponen aset/liabilitas mudah keluar-masuk, jika terjadi perubahan tingkat bunga.
3)        Ketiga, repriceable, yaitu aset/liabilitas yang dapat diper-baharui tingkat bunganya dalam jangka waktu tertentu mengikuti perubahan tingkat bunga[4]          
Terdapat dua macam aset/liabilitas menurut tingkat kepe-kaannya, yaitu Rate Sensitive Asset/Liability dan Fixed Rate Asset/Liability.
Aset yang dapat digolongkan sebagai Rate Sensitive Asset (RSA) adalah semua aset, termasuk aset dengan bunga tetap (fixed rate), yang mempunyai jatuh tempo kurang dari 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, atau aset dengan bunga mengambang (floating rate) yang harus diperbaharui setiap 1 bulan, 3 bulan, atau 6 bulan.[5]
Liabilitas yang digolongkan Rate Sensitive Liabilities (RSL) adalah semua liabilitas, termasuk liabilitas dengan bunga tetap, yang mempunyai maturitas kurang dari 1 bulan, 3 bulan, atau 6 bulan, atau pinjaman dengan bunga mengambang yang harus diperbaharui setiap 1 bulan, 3 bulan, atau 6 bulan[6].
Sedangkan Fixed Rate Asset (FRA) dan Fixed Rate Liabi-lities (FRL) adalah semua aset dan liabilitas yang mempunyai jatuh tempo atau dapat diperbaharui tingkat bunganya lebih dari 6 bulan, dan tidak termasuk dalam golongan RSA dan RSL.
Fund Gap adalah selisih antara Rate Sensitive Asset (RSA) dengan Rate Sensitive Liabilities (RSL). Hal itu dengan singkat dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut:
Fund Gap dapat bernilai   0          (RSA = RSL)
                                   positif          (RSA > RSL)
                                 negatif          (RSA < RSL)
Manajemen yang agresif akan selalu berusaha mengurangi pengaruh negatif dari perubahan tingkat bunga dan bahkan memanfaatkan fluktuasi tingkat bunga untuk meningkatkan keuntungannya. Jika manajemen memperkirakan tingkat bunga akan turun, maka posisi negative gap akan menguntungkan. Sebaliknya, pada posisi positive gap, kecenderungan turunnya tingkat bunga itu tidak menguntungkan. Oleh karenanya, sebelum tingkat bunga benar-benar turun, manajemen segera memperkecil fund gap positif itu hingga mendekati nol atau bahkan menjadi negatif. Sebaliknya, bila tingkat bunga cen-derung naik, maka manajemen akan mengusahakan posisinya menjadi positif.
Sementara manajemen yang defensif selalu memperkecil fund gap tersebut sampai mendekati 0 atau matching guna mem-perkecil kemungkinan risiko akibat perubahan tingkat bunga.
Penggunaan teknik fund gap management untuk mencapai manajemen aset/liabilitas tersebut ternyata belum mencukupi, karena teknik ini mengandung beberapa kelemahan, antara lain kurang memperhitungkan faktor-faktor yang dapat menyulitkan proses manajemen aset/liabilitas, seperti faktor keinginan nasabah, faktor default risk, dan pengaruh-pengaruh perubahan tingkat bunga terhadap economic value dari komponen-komponen aset/liabilitas. Oleh karena itu, teknik fund gap management lalu dilengkapi dengan teknik duration gap management. Teknik manajemen ini berfokus secara langsung kepada market value of equity perusahaan. Dengan teknik ini, durasi aset/liabilitas perusahaan dihitung untuk memperkira-kan pengaruh perubahan suku bunga terhadap market value aset/liabilitas perusahaan.
Untuk dapat menghitung besarnya duration gap, data yang harus terlebih dulu dikumpulkan adalah data maturity dan return dari masing-masing komponen aset, maturity dan cost dari masing-masing komponen liabilitas, dan estimasi current market yield dari masing-masing komponen aset/liabilitas.
Langkah selanjutnya adalah menentukan besarnya masing-masing duration dari komponen aset/liabilitas. Setelah duration dari masing-masing komponen aset/liabilitas tersebut diketahui, maka dapat diketahui rata-rata tertimbang duration aset, yaitu hasil kali antara duration komponen aset dan persentase besarnya komponen itu terhadap total aset, dan rata-rata tertimbang duration liabilitas, yaitu dengan mengalikan duration komponen liabilitas dengan persentase besarnya komponen tersebut terhadap total liabilitas. Formula untuk mencari duration gap adalah sebagai berikut :
DURGAP = DURA – W x DURL
                 DURA = rata-rata tertimbang duration aset
DURL = rata-rata tertimbang duration liabilitas
W   = persentase liabilitas terhadap total aset.
Jika duration gap positif, yaitu duration aset lebih besar dari pada duration liabilitas, maka kenaikan tingkat bunga akan menyebabkan menurunnya market value of net worth dan penurunan tingkat bunga akan menyebabkan meningkatnya market value of net worth. Sebaliknya, jika duration gap adalah negatif, yaitu duration aset lebih kecil dari pada duration liabilitas, maka kenaikan tingkat bunga akan menyebabkan kenaikan market value of net worth dan penurunan tingkat bunga akan menyebabkan menurunnya market value of net worth. Jika duration gap adalah nol, maka market value of net worth tidak terpengaruh (immune) perubahan tingkat bunga.
  4.       Aplikasi Teori Asset/Liability Management pada Perbankan Syariah
Sebagaimana perbankan konvensional, perbankan syariah pun juga merupakan lembaga intermediasi antara penabung dan investor. Perbedaan pokok perbankan syariah dengan per-bankan konvensional terletak pada dominasi prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko (profit and loss sharing) yang me-landasi sistem operasionalnya. Hal ini antara lain tercermin pada beberapa karakteristik sebagai berikut:
i.           Tidak sebagaimana bank konvensional, bank syariah hanya menjamin pembayaran kembali nilai nominal simpanan giro dan tabungan (seanndainya mekanisme yang dipilih adalah wadiah), tetapi tidak menjamin pembayaran kembali nilai nominal dari deposito (investment deposit/mudharabah deposit). Bank syariah juga tidak menjamin keuntungan atas deposito. Mekanisme pengaturan realisasi pembagian keuntungan final atas deposito pada bank syariah tergantung pada performance dari bank, tidak sebagaimana bank konvensional yang menjamin pembayaran keuntungan atas deposito berdasarkan tingkat bunga tertentu dengan mengabaikan performance-nya.
ii.         Sistim operasional bank syariah berdasarkan pada sistem equity di mana setiap modal mengandung risiko. Oleh karena itu, hubungan kerjasama antara bank syariah dengan nasabahnya adalah berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko (profit and loss sharing/PLS).
iii.       Dalam melakukan kegiatan pembiayaan (financing) bank syariah menggunakan model pembiayaan muamalah maa-liyah (Islamic modes of financing): PLS dan non-PLS. Sehubungan dengan itu, bank syariah melakukan pooling dana-dana nasabah dan berkewajiban menyediakan mana-jemen investasi yang profesional.
Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, maka risiko yang dihadapi oleh bank syariah lebih terfokus kepada risiko likuiditas serta risiko kredit, dan tidak akan pernah mengalami risiko karena fluktuasi tingkat bunga.
Likuiditas bank syariah banyak bergantung pada:
i.        Tingkat kelabilan (volatility) dari simpanan (deposit) nasabah; (2) kepercayaan pada dana-dana non-PLS,
ii.      Kompetensi teknis yang berhubungan dengan pengaturan struktur liabilitas,
iii.            Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas, dan
iv.    Akses kepada pasar antarbank dan sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort dari bank sentral. Teknik duration gap management dapat diaplikasikan oleh bank syariah, bukan dalam rangka menghindari risiko tingkat bunga, melainkan untuk mengatur cash flow atau mengendalikan likuiditasnya.
Di sisi lain kualitas earning assets bank syariah akan ber-gantung pada beberapa hal berikut:
i.           Level, distribusi, dan tingkat kesulitan dari aset yang di-klasifikasikan.
ii.         Level dan komposisi dari berkurangnya nilai aset
iii.       Kecukupan dari cadangan penilaian kembali
iv.       Bukti adanya kemampuan untuk mengadministrasikan dan memperoleh kembali kredit bermasalah.
Hasil akhir dari manajemen aset/liabilitas itu akan bermuara kepada kemampuan untuk menutup kerugian dan penyediaan kecukupan modal, trend pendapatan yang semakin baik dan kompetitif terhadap peer group-nya, serta kualitas dan kom-posisi pendapatan bersih (net income) yang semakin baik.
  5.       Penutup
Assets/liability management bank syariah lebih banyak bertumpu pada kualitas aset, dan hal itu akan menentukan kemampuan bank untuk meningkatkan daya tariknya bagi nasabah untuk menginvestasikan dananya melalui bank tersebut, yang berarti meningkatkan kualitas pengelolaan liabilitasnya. Kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai professional investment manager akan sangat menentukan kualitas aset yang dikelolanya. Teknik fund gap management tidak relevan untuk digunakan sebagai teknik yang digunakan sebagai alat manajemen aset/liabilitas bank syariah, karena bank syariah tidak dealing dengan risiko tingkat bunga. Teknik duration gap management dapat diguna-kan oleh bank syariah, bukan untuk menghindari risiko tingkat bunga, tetapi lebih kepada tujuan pengelolaan cash flow atau pengendalian likuiditasnya.
II.      Pasar Uang Berbasis Syariah (Islamic Money Market)
1.        Praktik Pasar Uang Konvensional
Pasar uang (money market) adalah pasar di mana diperda-gangkan surat-surat berharga jangka pendek. Pasar valuta asing (foreign exchange market) adalah pasar di mana diperdagang-kan surat-surat berharga dalam suatu mata uang dengan melibatkan mata uang lain.
Artikel-artikel yang diperdagangkan di pasar uang adalah uang (money) dan uang kuasi (near money)[7]. Uang atau uang kuasi tidak lain dari surat berharga (financial paper) yang mewakili uang di mana seseorang (atau perusahaan) mempunyai ke-wajiban kepada orang (atau perusahaan) lain. Dalam hal mata uang (currency), yaitu uang tunai yang ada di saku kita, adalah merupakan bukti kewajiban Pemerintah akan sejumlah uang kepada kita sebagai pembawa mata uang tersebut. Dalam hal treasury bill, juga merupakan kewajiban pemerintah senilai equivalen sejumlah uang kepada pemilik bill tersebut. Dalam hal ini, bill tersebut baru dapat dibayar oleh Pemerintah dalam bentuk tunai setelah lewatnya jangka waktu yang ditetapkan, yaitu pada tanggal jatuh tempo dokumen tersebut.
Dalam kasus pertama, mata uang pemerintah adalah uang yang sebenarnya, sedangkan dalam kasus kedua, treasury bill hanyalah uang kuasi (near money). Tidaklah sulit menjual treasury bill walaupun Pemerintah tidak berkewajiban mem-bayarnya sebelum tanggal jatuh tempo. Contoh seperti treasury bill ini juga berlaku bagi surat berharga lain, walaupun berbeda-beda tingkat marketabilitasnya. Dalam kenyataannya, tidak ada jaminan bahwa surat berharga yang berjangka waktu lebih pendek mempunyai marketabilitas yang lebih baik dari pada yang berjangka lebih panjang. Bagian terbesar dari aktiva keuangan yang diperdagangkan di pasar uang adalah berjangka waktu kurang dari satu tahun. Namun demikian, perdagangan yang aktif juga diadakan dari dokumen yang berjangka waktu sampai lima tahun. Surat berharga yang berjangka waktu lebih panjang biasanya lebih banyak dimiliki para investor di pasar modal di mana surat berharga jangka panjang diperdagangkan.
Uang atau uang kuasi yang diperdagangkan di dalam negeri (local money market) adalah mata uang yang berlaku sah di negeri itu. Tetapi, bila uang atau uang kuasi itu diperdagangkan di luar negara di mana mata uang itu berlaku sah, maka kita sebut dengan foreign money market. Kita mengenal Eurodollar Market. Dalam hal ini surat berharga dalam mata uang Amerika Serikat diperdagangkan di Eropa, yang kemudian juga diper-dagangkan di berbagai tempat seperti Asia.
2.        Harga di Pasar Uang Konvensional
Harga dalam pasar uang biasanya dinyatakan dalam suatu persentase yang mewakili pendapatan (return) berkaitan dengan penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu. Pelaku dalam pasar uang umumnya disebut peminjam (borrowers) dan pemberi pinjaman (lenders). Peminjam adalah individu yang membeli hak penggunaan dana untuk jangka waktu yang ditentukan sebelumnya. Pemberi pinjaman adalah individu yang menjual hak penggunaan dana untuk jangka waktu tersebut. Harga yang diterima oleh pemberi pinjaman untuk melepaskan hak penggunaan dana itu disebut tingkat bunga (interest rate)[8]. Misalnya, di dalam pinjaman sebesar Rp100,- bila pemberi pinjaman menerima Rp120,- pada akhir tahun, maka kelebihan sebesar Rp20 yang diterima tersebut dinyata-kan dalam persentase, yaitu 20 % tingkat bunga per tahun.
3.        Pandangan Islam terhadap Uang
Pada dasarnya Islam memandang uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan komoditas atau barang dagangan. Oleh karena itu, motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi atau trading.
Islam sangat menganjurkan penggunaan uang dalam per-tukaran. Salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu adalah barter, di mana barang saling dipertukarkan. Rasulullah r menyadari kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan sistim pertukaran barter ini. Beliau  ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para shahabat untuk menggunakan uang dalam transak-si-transaksi mereka[9].
Kebijakan Rasulullah dalam hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Atha Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri. Ternyata Rasulullah tidak menyetujui transaksi dengan sistim barter untuk barang sejenis tetapi berbeda kualitasnya. Untuk itu beliau menganjurkan penggunaan uang. Tampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada unsur ‘riba’ di dalamnya[10].
Dalam konsep Islam, tidak dikenal money demand for specu-lation. Hal ini karena spekulasi tidak diperbolehkan. Uang pada hakikatnya adalah milik Allah I. yang diamanahkan kepada kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan kita dan masyarakat. Oleh karenanya, menimbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) tidak dikehendaki, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang beredar. Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept, karenanya harus selalu ber-putar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat, dan akan semakin baik perekonomian.
Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan hartanya, Islam menganjurkan untuk melakukan musyarakah atau mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengambil risiko yang mungkin timbul karena ber-musyarakah atau ber-mudharabah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qardh, yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apa pun, karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah riba.
Secara mikro, qardh tidak memberikan manfaat lang-sung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, qardh akan memberikan manfaat tidak langsung bagi per-ekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian qardh membuat velocity of money bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomi-an sehingga pendapatan nasional meningkat. Karena pendapatan nasional meningkat, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya. Hal ini karena purchasing power agregate masyarakat meningkat. Demikian pula pengeluaran shada-qah, juga akan memberikan manfaat yang kurang-lebih sama dengan pemberian qardh.
Islam tidak mengenal konsep time value of money. Islam mengenal konsep economic value of time, artinya yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh-bayar lebih tinggi dari pada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah r, adalah orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh-bayar (deferred payment) lebih tinggi dari pada harga tunai (cash). Hal yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang. Demikian juga semakin panjang waktu penagihan akan semakin banyak pula biaya yang diperlukan bank untuk administrasi, collection, dan SDM yang meng-operasionalkannya
Dapat dijelaskan, bila barang dijual tunai dengan untung Rp500,- maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi, sehingga dalam satu hari itu keuntungannya adalah Rp1000,- Sedangkan bila dijual tangguh-bayar, maka hak penjual ter-tahan sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjualnya lagi. Dan akibat lebih jauh dari itu, hak keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tertahan oleh pem-beli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai[11].
4.        Kebutuhan Bank Syariah terhadap Pasar Uang
Tugas utama manajemen bank, tidak terkecuali bank syariah, adalah memaksimalkan laba, meminimalkan risiko, dan men-jamin tersedianya likuiditas yang cukup. Manajemen tidak dapat semaunya menarik nasabah untuk menyimpan dananya di bank tanpa adanya keyakinan bahwa dana itu dapat di-investasikan secara menguntungkan dan dapat dikembalikan ketika dana itu sewaktu-waktu ditarik oleh nasabah atau dana tersebut telah jatuh tempo. Di samping itu, manajemen juga harus secara simultan mempertimbangkan berbagai risiko yang akan berpengaruh pada perubahan tingkat laba yang diperoleh.
Salah satu kendala operasional yang dihadapi oleh perbankan syariah adalah kesulitan mereka mengendalikan likuiditasnya secara efisien. Hal itu terlihat pada beberapa gejala, yaitu antara lain:
i.           Tidak tersedianya kesempatan investasi segera atas dana-dana deposito yang diterimanya. Dana-dana tersebut ter-akumulasi dan menganggur untuk beberapa hari sehingga mengurangi rata-rata pendapatan mereka.
ii.         Kesulitan mencairkan dana investasi yang sedang berjalan pada saat ada penarikan dana dalam situasi kritis. Akibat-nya, bank-bank syariah menahan alat likuidnya dalam jumlah yang lebih besar dari pada rata-rata perbankan konvensional. Sekali lagi, kondisi ini pun menyebabkan berkurangnya rata-rata pendapatan bank. Deposan yang hanya mencari keuntungan cenderung memindahkan dananya ke bank lain, sementara nasabah yang loyal mendapat kesan kesan bahwa mengikuti prinsip syariah berarti menambah beban.
Tanpa adanya fasilitas pasar uang, bank konvensional pun akan menghadapi masalah yang sama, mengingat pada umumnya perbankan sulit menghindari posisi keuangan yang mismatched. Untuk memanfaatkan dana yang sementara idle itu, bank dapat melakukan investasi jangka pendek di pasar uang. Sebaliknya, untuk memenuhi kebutuhan dana untuk likuiditas jangka pendek, karena mismatch, bank juga dapat memperolehnya di pasar uang.
Karena surat-surat berharga yang ada di pasar keuangan konvensional, kecuali saham, berbasis pada sistem bunga, perbankan syariah menghadapi kendala –hal ini mengingat bahwa bank syariah tidak diperbolehkan untuk menjadi bagian dari aktiva atau pasiva yang berbasis bunga. Masalah ini berdampak negatif bagi pengelolaan likuiditas maupun pengelolaan investasi jangka panjang. Akibatnya, perbankan syariah terpaksa hanya memusatkan portofolio mereka pada aktiva jangka pendek, yang terkait dengan perdagangan, dan berlawanan dengan keperluan investasi dan pembangunan ekonomi.
Walaupun manajemen telah berhasil menciptakan pasar bagi perbankan syariah, namun mereka belum mencapai kedalaman pasar yang menjamin keuntungan (profitability) dan kelang-sungan usaha (viability) jangka panjang. Cepat atau lambatnya mereka keluar dari masalah ini akan tergantung pada kecepatan, agresivitas, dan efektivitas mereka membangun instrumen dan teknik yang memungkinkan tercapainya fungsi intermediasi dua arah bagi perbankan syariah. Mereka harus menemukan jalan dan alat pengembangan instrumen keuangan berbasis syariah yang marketable, di mana portofolio yang dihasilkan oleh perbankan syariah dapat dipasarkan di pasar keuangan yang lebih luas[12].
5.         Strategi Pengembangan Pasar Uang Berbasis Syariah
i.           Penciptaan Instrumen Uang Syariah
Sebagaimana telah diuraikan di atas, surat-surat berharga yang beredar di pasar keuangan konvensional adalah surat-surat berharga berbasis bunga, sehingga perbankan syariah tidak dapat memanfaatkan pasar uang yang ada. Kalaupun ada juga saham sebagai surat tanda penyertaan modal yang berbasis bagi hasil, masih memerlukan penelitian, apakah objek penyertaan tersebut terbebas dari kegiatan yang tidak disetujui oleh Islam. Dengan kata lain, harus ada kepastian bahwa emiten tidak menyelenggarakan perniagaan barang-barang yang dilarang oleh syariah Islam, atau mengandung unsur riba, maisir, dan gharar.
Oleh karena itu, untuk menciptakan pasar uang yang bermanfaat bagi perbankan syariah, harus dikembangkan instrumen pasar uang yang berbasis syariah. Dengan aktifnya instrumen pasar uang yang berbasis syariah, maka perbankan syariah dapat melaksanakan fungsinya secara penuh, tidak saja dalam memfasilitasi perdagangan jangka pendek, tetapi juga berperan dalam investasi jangka panjang. Struktur keuangan dari proyek-proyek pembangunan berbasis syariah akan memperkaya piranti keuangan syariah dan membuka partisipasi lebih besar dari seluruh pelaku pasar, tidak terkecuali nonmuslim, karena pasar tersebut bersifat terbuka.
Perbedaan pokok antara lembaga keuangan syariah de-ngan lembaga keuangan konvensional adalah dilarangnya riba (bunga) pada lembaga keuangan syariah, baik riba nasiah, yaitu riba pada pinjam-meminjam uang (qardh), maupun riba fadl, yaitu riba dalam perdagangan.
Pinjam-meminjam uang untuk memperoleh imbalan (keuntungan) dilarang. Pendapatan atau keuntungan hanya boleh diperoleh dengan bekerja atau melakukan kegiatan perniagaan yang tidak dilarang oleh Islam. Untuk menghindari pelanggaran terhadap batas-batas yang telah ditentukan oleh syariah Islam tersebut, maka piranti keuangan yang diciptakan harus didukung oleh aktiva, proyek aktiva, atau transaksi jual-beli yang melatar-belakangi (underlying transaction)secara halal.
Piranti keuangan itu dapat dibentuk melalui sekuritisasi aktiva/proyek aktiva (assets securitization), yang merupa-kan bukti penyertaan, baik dalam bentuk penyertaan musyarakah (management share), yang meliputi modal tetap (fixed capital) dengan hak mengelola, mengawasi, dan hak suara dalam pengambilan keputusan (voting right), maupun dalam bentuk penyertaan mudharabah (participation share), yang mewakili modal kerja (variable capital), dengan hak atas modal dan keuntungan dari modal tersebut, tetapi tanpa voting right.
ii.         Mekanisme Operasi Pasar Keuangan Syariah
Mekanisme perdagangan surat-surat berharga berbasis syariah harus tetap berkaitan dan berada dalam batas-batas toleransi dan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh syariah,[13] seperti antara lain :
1)        Fatwa ulama pada simposium yang disponsori oleh Dallah al Baraka Group pada bulan November 1984 di Tunis menyatakan: “Diperbolehkan menjual bagian modal dari setiap perusahaan di mana manajemen perusahaan tetap berada di tangan pemilik nama dagang (owner of trade name) yang telah terdaftar secara legal. Pembeli hanya mempunyai hak atas bagian modal dan keuntungan tunai atas modal tersebut tanpa hak pengawasan atas manajemen atau pembagian aset, kecuali untuk menjual bagian saham yang mewakili kepentingannya”[14]
2)        Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah, Peluang dan Tantangannya di Indonesia, di Jakarta tanggal 30-31 Juli 1997, telah memperbolehkan diperdagangkan-nya reksadana yang berisi surat-surat berharga dari perusahaan-perusahaan yang produk maupun operasi-nya tidak bertentangan dengan syariah.
Seseorang akan tertarik menanamkan dananya pada ins-trumen keuangan apabila dapat diyakini bahwa instrumen tersebut dapat dicairkan setiap saat tanpa mengurangi pendapatan efektif dari investasinya. Oleh karena, itu setiap instrumen keuangan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
1)        Pendapatan yang baik (good return),
2)        Risiko yang rendah (low risk),
3)        Mudah dicairkan (redeemable),
4)        Sederhana (simple), dan
5)        Fleksibel.
Dalam rangka memenuhi syarat-syarat tersebut, tanpa mengabaikan batas-batas yang diperkenankan oleh syariah, maka diperlukan adanya suatu special purpose company (selanjutnya disebut ‘company’) dengan fungsi sebagai berikut:
1)        Memastikan keterkaitan antara sekuritisasi dengan aktivitas produktif atau pembangunan proyek-proyek aset baru, dalam rangka penciptaan pasar primer melalui kesempatan investasi baru dan menguji kelayakan (feasibility)-nya. Tahap ini disebut ‘tran-saction making’ yang didukung oleh initial investor.
2)        Menciptakan pasar sekunder yang dibangun melalui berbagai pendekatan yang dapat mengatur dan mendorong terjadinya konsensus perdagangan antara para dealer, termasuk fasilitas pembelian kembali (redemption).
3)        Menyediakan layanan kepada nasabah dengan men-dirikan lembaga pembayar (paying agent).
Konsep ini dapat diterapkan secara lebih luas dengan pendayagunaan sumber-sumber dari lembaga-lembaga lain dan para nasabah dari perbankan syariah sehingga memungkinkan adanya:
1)        Penciptaan proyek-proyek besar dan penting
2)        Para penabung kecil dan para investor berpenghasilan rendah dapat memperoleh keuntungan dari proyek-proyek yang layak (feasible) dan sukses, di mana mereka dapat dengan mudah mencairkan kembali dengan pendapatan yang baik.
3)        Memperluas basis bagi pasar primer
4)        Menjembatani kesulitan menemukan perusahaan yang bersedia ikut berpartisipasi dalam permodalan (joint stock companies) dan mengutipnya di pasar.
Konferensi Pasar Modal yang diadakan di Beirut, Liba-non[15], menegaskan kembali perlunya pengembangan konsep berikut pedoman lebih lanjut. Para pengembang dan para pengambil inisiatif memerlukan kebijakan dan prosedur pasar uang, terutama dalam hal jaminan pembelian kembali bagi para investor. Oleh karena itu, lembaga marketing yang berkualitas juga diperlukan. Apabila semua kebutu-han tersebut dapat dipenuhi, maka akan banyak instrumen keuangan baru yang menarik, yang terkait dengan proyek-proyek produktif, yang dapat diikembangkan di pasar sekunder.
iii.       Peranan Company
Peranan utama dari company adalah sebagai pembuat transaksi (transaction maker). Sebagaimana kita ketahui, semua lembaga keuangan berusaha memobilisasi dana-dana dari para penabung dan mempertimbangkan jalan terbaik untuk menggunakannya. Salah satu kelemahan dari tingkah-laku ini adalah adanya dana-dana yang menganggur atau digunakan secara tidak layak dengan semata-mata mengambil keuntungan dari waktu dan seringkali menanamkan dana-dana tersebut pada transaksi yang meragukan. Untuk menghindari hal itu, maka di-perlukan adanya inisiatif dari pembuat transaksi dengan mekanisme kerja sebagai berikut :
Pertama, melakukan verifikasi atas kesempatan inves-tasi, baik secara internal (perusahaan) maupun secara eksternal (pasar). Apabila transaksi tersebut dapat diterima, maka pembuat transaksi (yang bekerja berdasarkan komisi) melakukan usaha lebih lanjut. Proyek itu akan dibeli oleh atau ditawarkan kepada initial investor dari bagian saham yang telah ditanam untuk memperoleh partisipasi dari pasar. Dengan peranan demikian, maka dimungkinkan penciptaan surat-surat berharga jangka pendek.
Rekening-rekening dan mekanisme investasi dapat dikembangkan untuk memungkinkan nasabah menginves-tasikan dananya dalam jangka pendek, dengan pendapatan yang wajar, tanpa risiko yang berarti, dan tetap sesuai dengan syariah. Dengan jalan demikian, kesempatan baik dapat diserap dari deposito jangka pendek atau rekening koran. Treasury dari setiap bank dapat merencanakan likui-ditasnya dengan baik, dengan menggunakan kesempatan dan mekanisme tersebut.
Kedua, untuk mengatasi kesulitan dan guna memas-tikan adanya kemungkinan bagi investor untuk mencairkan kembali investasi mereka sewaktu-waktu dibutuhkan, tanpa mempengaruhi pendapatan efektif yang mereka harapkan, maka perusahaan dapat menerapkan program-program sebagai berikut:
1)        Mendukung perjanjian perdagangan sekuritas.
Bagian saham dari company ini dapat dipertukar-kan sesuai dengan perjanjian yang saling menguntungkan (mutual agreement). Company mensponsori dan mengawasi pertukaran. Surat-surat berharga tersebut ditransfer setelah aspek-aspek legal diselesaikan. Selanjutnya diikuti dengan penyediaan fasilitas pasar sekunder, mendorong dan mendukung para dealer untuk mengambil dan memperdagangkan instrumen keuangan tersebut. Company juga memperkenalkan, untuk pertama kalinya, pelayanan penebusan surat-surat berharga (security redemption services).
2)        Program Penebusan (Redemption Programme)
Penebusan dilakukan dengan harga yang berlaku pada saat transaksi pembelian kembali. Dalam hal ini diberlakukan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
i)          Pengawasan Penebusan
Untuk mengorganisaikan transaksi pem-belian kembali dan untuk memelihara hak-hak pengawasan, dikembangkan peraturan-peraturan berikut:
                                                             /             Nasabah memberitahukan kepada manaje-men company atau agen-agen pembelian kembali tentang keinginan mereka untuk menjual semua atau sebagian saham be-berapa hari sebelumnya.
                                                             /             Dalam beberapa surat berharga tertentu, harga maksimal penebusan dapat diten-tukan.
                                                             /             Semua persyaratan pembelian kembali di-nyatakan dalam prospektus. Tidak ada persyaratan lain yang harus ditambahkan selama jangka waktu penerbitan.
ii)                  Penetapan Jumlah dan Harga Pembelian Kembali
                                                             /             Periode pembelian kembali ditetapkan misalnya setiap minggu oleh suatu panitia ad hoc. Company mengumumkan harga-harga tersebut setiap hari dan setiap harga berlaku selama seminggu.
                                                             /             Panitia yang menetapkan jumlah dan har-ga pembelian kembali dapat terdiri dari company, agen pembelian kembali dan wakil dari pemegang saham yang memiliki bagian sedikitnya misalnya 10 persen dari nilai penerbitan.
                                                             /             Penetapan harga pembelian kembali dapat didasarkan atas pertimbangan-pertimbang-an beberapa faktor sebagai berikut:
                                                                          C             Faktor permintaan dan penawaran di-dasarkan atas indikasi-indikasi yang diperoleh dari perjanjian-perjanjian transaksi jual-beli.
                                                                          C             Features posisi keuangan riil dari surat berharga yang diterbitkan.
                                                                          C             Rate pasar yang berlaku umum seba-gai bahan perbandingan.[16]
iii)      Agen-agen pembayaran (paying  agents)
Dalam rangka mempercepat dan memudahkan perputaran transaksi instrumen keuangan, dapat didirikan agen-agen pembayaran. Fungsi ini dapat diberikan sehubungan dengan kewajiban com-pany pada saat pembelian kembali surat berharga tersebut atau pada saat pencairan akhir, terutama bila area pasar yang memperdagangkan surat-surat berharga tersebut secara geografis sangat luas. Agen pembayaran tersebut bekerja atas dasar komisi.
3)        Bertindak sebagai custodian
Untuk memudahkan transfer instrumen pasar uang yang diperdagangkan, maka ‘company’ bertindak sebagai custodian. Dengan demikian, setiap transaksi yang dilakukan dapat dengan segera diikuti oleh pe-mindahan hak dengan menggunakan jasa ‘company’.
6.        Kesimpulan
Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept, oleh karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat, dan akan semakin baik perekonomian.
Meskipun selalu berputar (circulating), pada setiap saat selalu ada kas yang tersedia (likuiditas) untuk memenuhi kewajiban-kewajiban perusahaan. Makin tinggi cash turnover berarti semakin tinggi efisiensi penggunaan kas. Tetapi cash turnover yang berlebih-lebihan tingginya, yang berarti kas yang tersedia terlalu kecil untuk volume bisnis yang bersangkutan, dikha-watirkan bank akan menghadapi kesulitan finansial.
Untuk memanfaatkan dana yang sementara idle itu, bank per-lu melakukan investasi jangka pendek di pasar uang. Sebaliknya, untuk memenui kebutuhan dana untuk likuiditas jangka pendek, karena mismatch, bank juga harus dapat memperolehnya di pasar uang. Oleh karena itu, untuk menciptakan pasar uang yang bermanfaat bagi perbankan syariah harus diciptakan instrumen pasar uang yang berbasis syariah.
Untuk menghindari riba nasi’ah, maka piranti keuangan yang diciptakan harus didukung oleh  transaksi yang melatar-belakangi (underlying transaction). Piranti keuangan itu dapat dibentuk sekuritisasi aktiva (assets securitization), yang merupakan bukti penyertaan, baik dalam bentuk penyertaan musyarakah (management share), maupun dalam bentuk penyertaan mudharabah (participation share).
Guna menghindari kesulitan atau memastikan adanya ke-mungkinan bagi investor untuk mencairkan kembali investasi mereka, diperlukan adanya ‘company’ yang memfasilitasi kegiatan pasar uang syariah.
Otoritas moneter, demikian juga majlis ulama Indonesia (Dewan Syariah Nasional), harus mengembangkan konsep kebijakan dan prosedur kegiatan pasar uang syariah sehingga pengawas perbankan dapat memastikan kepatuhan bank-bank syariah terhadap prinsip-prinsip norma syariah yang telah ditetapkan.
III.   Norma-Norma Syariah dalam Pasar Valuta Asing (Foreign Exhange)
1.        Praktik Pasar Valuta Asing Konvensional
i.           Alasan Kebutuhan Transaksi Perdagangan Valuta Asing
Sebagaimana yang berlaku di pasar uang, di pasar valuta asing (foreign exchange market) juga diperdagangkan surat berharga jangka pendek. Tetapi tidak sebagaimana di pasar uang, surat berharga yang diperdagangkan tidak dalam mata uang yang sama. Di pasar valuta asing, surat berharga dalam suatu mata uang selalu dipertukarkan dengan surat berharga dalam mata uang lain. Seperti di pasar uang, di pasar valuta asing pun unsur waktu kapan transaksi itu ditutup merupakan salah satu unsur yang harus diperhatikan.
Dalam menjelaskan pasar uang, kita menunjuk per-bandingan antara uang (currency) dengan treasury bill. Uang menyediakan daya beli secara langsung, sedangkan treasury bill menyediakan daya beli pada suatu waktu tertentu di masa yang akan datang. Pasar valuta asing, berdasarkan unsur waktu itu dibedakan antara spot market dan forward market. Spot market untuk pertukaran valuta asing dengan waktu penyerahan dalam dua hari kerja, sedangkan forward market untuk penyerahan pada suatu tanggal tertentu di masa mendatang. Secara teknis, waktu penyerahan itu disebut tanggal valuta (value date).
Bagaimana transaksi perdagangan valuta asing terjadi?
Hal ini dapat kita jelaskan sebagai berikut. Bila sebuah perusahaan di Indonesia mengekspor barang, misalnya ke Jepang, maka pertukaran valuta asing diperlukan. Kar-yawan pabrik atau pembuat jasa di Indonesia harus dibayar dengan mata uang lokal Indonesia, rupiah. Sedangkan masyarakat yang mengkonsumsi barang dan jasa di Jepang hanya memiliki mata uang lokal Jepang, yaitu yen.
Ada dua kemungkinan yang dapat ditempuh guna me-menuhi kebutuhan transaksi antara eksportir Indonesia dengan importir Jepang tersebut.
1)        Bila eksportir Indonesia mengeluarkan tagihan dalam rupiah, maka importir Jepang harus menjual yen dan membeli rupiah untuk memenuhi tagihan tersebut.
2)        Bila eksportir Indonesia dibayar dengan mata uang yen, maka mereka harus menjual yen dan membeli rupiah.
Dari uraian tersebut di atas, kita saksikan bahwa dalam mata uang apa pun invoice itu dikeluarkan, orang harus pergi ke pasar valuta asing untuk menjual yen dan mem-beli rupiah. Untuk memenuhi kebutuhan transaksi ini di pasar, harus ada penawaran rupiah dan permintaan yen. Dapat juga terjadi bahwa transaksi antara dua negara diselesaikan dengan menggunakan mata uang negara ketiga, yaitu baik bila eksportir maupun importir tidak memiliki mata uang lokal negara masing-masing. Ini berarti bahwa mata uang yang dipergunakan itu mata uang yang populer di kedua negara, sedang mata uang masing-masing negara sangat jarang diperdagangkan atau mata uang yang sangat lemah. Sekali lagi, kasus terakhir itu pun memerlukan pasar valuta asing.
ii.         Harga di Pasar Valuta Asing
Harga dalam pasar valuta asing di suatu negara dinyata-kan dengan cara yang sama sebagaimana untuk menyatakan harga dari barang dan jasa di negara tersebut dalam mata uang lokal[17]. Misalnya di Indonesia, harga-harga barang dan jasa dinyatakan dalam rupiah (IDR). Hal ini berlaku untuk barang dan jasa apa saja seperti mobil, alat-alat rumah tangga, jasa pelayanan kesehatan, dan lain-lain, termasuk harga valuta asing. Terjadinya harga valuta asing itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalnya harga mobil di Amerika adalah USD 10,000.00. Harga mobil yang sama di Indonesia Rp 60.000.000,- Dari harga mobil dalam kedua mata uang tersebut kita dapat menghitung harga USD terhadap IDR  = 60.000.000/10.000 = Rp 6.000,-/USD 1.
Harga di pasar uang dan harga di pasar valuta asing itu berinteraksi satu sama lain. Bila mata uang asing itu dipertukarkan melalui transaksi berjangka (forward transaction), maka penetapan nilai tukar tersebut akan dikaitkan dengan harga yang berlaku di pasar uang. Misalnya, bila A menukarkan IDR dengan USD kepada B untuk tanggal penyerahan 30 hari kemudian, maka A masih mempunyai kesempatan untuk menggunakan dana IDR selama 30 hari dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar uang IDR, dan selama itu tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakan USD. Sebaliknya B dalam waktu yang sama tidak mempunyai kesempatan menggunakan IDR tetapi mempunyai kesempatan untuk menggunakan USD dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar USD.
Apabila tingkat bunga di pasar IDR adalah 20% per tahun dan di pasar USD adalah 8% per tahun, maka B akan memperoleh bunga sebesar 12% lebih rendah dari pada yang diterima oleh A. Perbedaan tingkat bunga (interest differencial) itulah yang menjadi dasar penetapan bagi nilai tukar USD/IDR berjangka (forward rate) 30 hari yang akan datang. Karena B kehilangan kesempatan untuk memperoleh bunga sebesar 12% maka B mengenakan ‘premi’ sebesar itu kepada A. Sebaliknya, karena A memperoleh bunga sebesar 12% daripada B, maka A memberikan “diskon’ kepada B.
Itulah sebabnya maka harga yang seringkali dikutip di pasar berjangka adalah besarnya premi atau diskon yang dikehendaki. Dalam kasus di atas, maka harga berjangka 30 hari disebutkan sebesar :
0.12 X 30/360 = 0.01 Artinya apabila harga USD di pasar spot Rp 6.000/US$1, maka 30 hari lagi A harus membayar seharga spot ditambah premi, yaitu sebesar Rp 6.000 (1+ 0.01) = Rp 6.060/USD1. Atau dengan harga spot Rp 6.000/ US$1, B hanya berkewajiban membayar jumlah USD yang ditransaksikan dikurangi diskon yaitu sebesar US$ 1 (1- 0.01) = US$0.99.
2.        Keterlibatan Perbankan Syariah dalam Pasar Valuta Asing
Sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi perdagangan internasional, perbankan syariah pun tidak dapat menghindar-kan diri dari keterlibatannya pada pasar valuta asing. Perbankan syariah harus menyusun pedoman kerja operasional bagi dirinya agar juga mempuyai akses yang luas ke pasar valuta asing tanpa harus terlibat pada mekanisme perdagangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dengan pertu-karan antara emas dan perak (sharf). Harga atas pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli.
Diriwayatkan oleh Abu Ubadah bin Ash Shamid, berkata bahwa telah bersabda Rasulullah r :
 “Emas (hendaklah dibayar) dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, sya’ir dengan sya’ir[18], kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, sama dan sejenis haruslah dari tangan ke tangan (cash). Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sekehendak kalian dengan syarat kontan.” (H.R. Muslim, dalam kitab Al Masaqah)
Arahan Rasulullah r. dalam hadits ini mengindikasikan bahwa:
/                 Emas dan perak sebagai mata uang tidak boleh ditukar-kan dengan sejenisnya (Rupiah to Rupiah atau Dollar to Dollar) kecuali sama jumlahnya.
/                 Bila berbeda jenisnya, Rupiah to Yen maka dapat ditu-karkan (exchange) sesuai dengan market rate dengan catatan harus naqdan atau spot.
3.        Norma-Norma Syariah dalam Pasar Valuta Asing
Aktivitas perdagangan valuta asing harus terbebas dari unsur riba, maisir, dan gharar. Dalam pelaksanaannya haruslah memperhatikan beberapa batasan sebagai berikut:
i.           Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-masing pihak harus menerima/ menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan[19].
ii.         Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung tran-saksi komersial, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antarbangsa. Bukan dalam rangka spekulasi.
iii.       Harus dihindari jual-beli bersyarat. Misalnya, A setuju membeli barang dari B hari ini dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa mendatang.
iv.       Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
v.         Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai, atau dengan kata lain tidak dibenarkan jual-beli tanpa hak kepemilikan (bai’ al fudhuli)[20]
Dengan memperhatikan beberapa batasan tersebut di atas, terdapat beberapa tingkah-laku perdagangan yang dewasa ini biasa dilakukan di pasar valuta asing konvensional harus di-hindari, yaitu antara lain:
i.           Perdagangan tanpa penyerahan (future non-delivery trading atau margin trading).
ii.         Jual-beli valas bukan transaksi komersial (arbitrage), baik spot maupun forward.
iii.       Melakukan penjualan melebihi jumlah yang dimiliki atau dibeli (oversold).
iv.       Melakukan transaksi swap.



[1] Gerald O. Hatler, Bank Investment and Fund Management, (Washington DC: American Bankers Association, 1991), pg. 30-31.
[2] Ibid, pg. 46-47.
[3] John Bitner dan Robert A Goddard,  Asset/Liability Management: A Guide To the Future Beyond GAP, (New York: John Wiley & Sons, 1992), pg. 77.
[4] Gardner and Mills, Managing Financial Institution: An Assets Liability Approach, (New York: The Dryden-Press, 1987), pg. 468-469.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7].Heinz Riehl and Rita M. Rodriguez, Foreign Exchange Market, A Guide to Foreign Currency Operations, McGraw-Hill, Inc. 1977, pp.4.
[8] Ibid, pp.19.
[9]Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid 2, Penerjemah Drs. Soeroyo, MA dan Drs. Nastangin, Penerbit Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995. Hlm.73.
[10] Ibid, hlm.74.
[11]Zainul Arifin,MBA Prospek Perbankan Syariah dalam MenghadapiGejolak Moneter, pidato ilmiah, disampaikan dalam rangka Wisuda Sarjana Universitas Nasional Jakarta, tanggal 15 Nopember 1997.
[12]Abbas Mirakhor, Executive Director, International Monetary Fund, Washington, USA, Progress and Challenges of Islamic Banking, Review of Islamic Economics, Vol.4 No.2 (1997).
[13]Dalam beberapa hal harus terlebih dahulu memperoleh fatwa Dewan Syariah.
[14]Saleh Kamil, The Importance of Assets and Debts Securitization in Creating Dynamic Islamic Banking Environment, makalah yang dipresentasikan Labuan International Summit on Islamic Financial and Investment Instrument, Labuan, Malaysia, 16-18 June 1997.
[15] Ibid.
[16]Karena pasar uang syariah masih terbatas dan belum berlaku umum, maka biasanya calon investor selalu membandingkan dengan rate of return (idealnya berdasarkan atas hasil studi industri sejenis) yang terjadi di pasar keuangan konvensional.
[17] Ibid, pp.28
[18] Bur dan sya’ir adalah jenis gandum.
[19] Lihat H.R Bukhari, yang diriwayatkan dari Abu Al Minhal dan hadits yang sama yang diriwayatkan oleh Ubadah Ibn Samit.
[20] Menurut riwayat Ibn Abbas r.a. Rasulullah e. telah melarang seseorang yang akan menjual gandum sebelum memilikinya. Imam Thawus berkata bahwa dia telah bertanya kepada Ibn Abbas tentang alasan Rasulullah melarang hal ini dan dijawabnya bahwa hal itu sama saja menjual uang untuk memperoleh uang karena tidak ada gandum yang akan dibayar pada waktu itu (H.R Bukhari).